Sastra Klasik Bugis

Sastra Klasik Bugis - Hallo sahabat GADO GADO, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Sastra Klasik Bugis, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Bugis, Artikel Sastra, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Sastra Klasik Bugis
link : Sastra Klasik Bugis

Baca juga


Sastra Klasik Bugis

Kumpulan Pepatah Bugis, Sastra Klasik Bugis

arifuddinali.blogspot.com - Anda bebas menyalin ulang teks ini untuk disebarkan dijadikan bahan pembelajaran bagi siapapun.

1. Adé’é temmakké-anak’ temmakké-épo.
Artinya: “adat tak mengenal anak, tak mengenal cucu”. Dalam menjalankan norma-norma adat tak boleh pilih kasih (tak pandang bulu). Misalnya, anak sendiri jelas-jelas melakukan pelanggaran harus dikenakan sanksi (hukuman) sesuai ketentuan adat yang berlaku.

2. Ajak mapoloi olona tauwé.
Artinya: “jangan memotong (mengambil) hak orang lain”. Memperjuangkan kehidupan adalah wajar, tetapi jangan menjadikan perjuangan itu pertarungan kekerasan, saling merampas atau menghalangi rezeki orang lain.

3. Aja’ mumatebek ada, apak iyatu adaé maéga bettawanna. Muatutuiwi lilamu, apak iya lilaé paweré-weré.

Artinya: “Jangan banyak bicara, sebab bicara itu banyak artinya. Jaga lidahmu, sebab lidah itu sering mengiris”.

4. Aju maluruémi riala paréwa bola.

Artinya: “hanyalah kayu yang lurus dijadikan ramuan rumah”. Di sini rumah sebagai perlambang dari pemimpin yang melindungi rakyat. Hanya orang yang memiliki sifat lurus (jujur) yang layak dijadikan pemimpin, agar yang bersangkutan dapat menjalankan fungsi perannya dengan baik.

5. Alai cedde’e risesena engkai mappedeceng, sampeanngi maegae risesena engkai maega makkasolang .
Artinya: “ambil yang sedikit jika yang sedikit itu mendatangkan kebaikan, dan tolak yang banyak apabila yang banyak itu mendatangkan kebinasaan”. Mengambil sesuatu dari tempatnya dan meletakkan sesuatu pada tempatnya, termasuk perbuatan mappasitinaja (kepatutan). Kewajiban yang dibaktikan memperoleh hak yang sepadan adalah suatu perlakuan yang patut. Banyak atau sedikit tidak dipersoalkan oleh kepatutan, kepantasan, dan kelayakan.

6. Balanca manemmui waramparammu, abbeneng anemmui, iakia aja’ mupalaowi moodala’mu enrenngé bagelabamu.
Artinya: “boleh engkau belanjakan harta bendamu, dan pakai untuk berbini, namun janganlah sampai kamu menghabiskan modal dan labamu”. Peringatan pada pedagang (pengusaha) agar dalam menggunakan harta tidak berlebihan sehingga kehabisan modal dan membangkrutkan

7. Dék nalabu essoé ri tenngana bitaraé.
Artinya: “tak akan tenggelam matahari di tengah langit”. Manusia tidak akan mati sebelum takdir ajalnya sampai. Oleh karena itu keraguan harus disingkirkan dalam menghadapi segala tantangan hidup.

8. Duwa laleng tempekding riola, iyanaritu lalenna passarié enrenngé lalenna paggollaé.
Artinya: “dua cara tak dapat ditiru, ialah cara penyadap enau dan cara pembuat gula merah”. Jalan yang ditempuh penyadap enau tak tentu, kadang dari pohon ke pohon lain melalui pelepah atau semak belukar, sehingga dikiaskan sebagai menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Pembuat gula merah umumnya tak menghiraukan kebersihan, lantaran nnya itu tak diketahui orang. Kedua sikap di atas tak pantas ditiru karena mempunyai itikad kurang.

9. Iapa nakullé taué mabbaina narékko naulléni magguli-lingiwi dapurenngé wékka pitu .
Artinya: “apabila seseorang ingin beristeri, harus sanggup mengelilingi dapur tujuh kali”. Di sini dapur merupakan perlambang dari masalah pokok dalam kehidupan rumah tangga. Sedangkan tujuh kali merupakan padanan terhadap jumlah hari yang juga tujuh (Senin s/d Minggu). Maksudnya, sebelum berumah tangga supaya memiliki kesanggupan memikul tanggung jawab menghidupi keluarga setiap hari.

10. Iyya nanigesara’ ada’ ‘biyasana buttaya tammattikamo balloka, tanaikatonganngamo jukuka, annyalatongi aséya.
Artinya: “Jika dirusak adat kebiasaan negeri maka tuak berhenti menitik, ikan menghilang pula, dan padi pun tidak menjadi”. Jikalau adat dilanggar berarti melanggar kehidupan manusia, yang akibatnya bukan hanya dirasakan oleh yang bersangkutan, tetapi juga oleh segenap anggota masyarakat, binatang tumbuh-tumbuhan dan alam semesta.

11. Jagaiwi balimmu siseng mualitutui ranemmu wekka seppulo nasaba rangemmu ritu biasa mancaji bali.
Artinya: “jagalah lawanmu sekali dan jagalah sekutumu sepuluh kali lipat sebab sekutu itu bisa menjadi lawan”. Terhadap lawan sikap kita sudah jelas, namun yang harus lebih diwaspadai jangan sampai ada kawan berkhianat. Sebab, dengan demikian lawan jadi bertambah, dan membuat posisi rentan karena yang bersangkutan mengetahui rahasia (kelemahan) kita.

12. Ka-antu jekkongan kammai batu nibuanga naung rilikua; na-antu lambu suka kammai bulo ammawanga ri je’néka, nuassakangi poko’na ammumbai appa’na, nuasakangi appa’na ammumbai poko’na. Artinya: “kecurangan itu sama dengan batu yang dibuang ke dalam lubuk; sedangkan kejujuran laksana bambu yang terapung di air, engkau tekan pangkalnya maka ujungnya timbul, engkau tekan ujungnya maka pangkalnya timbul”. Kecurangan mudah disembunyikan, namun kejujuran akan senantiasa tampak dan muncul ke permukaan.

14. Lebbik-i cau-caurenngé napellorenngé.

Artinya: “lebih baik yang sering kalah daripada yang pengecut”. Orang yang sering kalah, masih memiliki semangat juang meskipun lemah dalam menghadapi tantangan. Sedangkan pengecut, samasekali tak memiliki keberanian ataupun semangat untuk berusaha menghadapi tantangan.

15. Malai bukurupa ricaué, mappalimbang ri majé ripanganroé.
Artinya: “memalukan kalau dikalahkan, mematikan kalau ditaklukkan”. Dikalahkan dalam perjuangan hidup karena keadaan memaksa memang memalukan. Sedangkan takluk, sama halnya menyerahkan seluruh harga diri, dan orang yang tak memiliki harga diri sama halnya mati.

16. Mattulu’ perajo téppéttu siranrang, padapi mapééttu iya.

Artinya: “terjalin laksana tali pengikat batang bajak pada luku yang selalu bertautan, tak akan putus sebelum putus ketiganya”. Perlambang dari eratnya persahabatan. Di mana masing-masing saling mempererat, memperkuat, sehingga tidak putus jalin kelingnya. Apabila putus satu, maka semua sama-sama putus.

17. Massésa panga, temmasésa api, massésa api temmasésa botoreng.
Artinya: “bersisa pencuri tak bersisa api, bersisa api tak bersisa penjudi”. Betapa pun pintarnya pencuri tak mampu mengambil semua barang (misalnya mengambil rumah atau tanah). Seberapa besarnya kebakaran hanya mampu menghancurkan barang-barang (misalnya tanah masih utuh). Akan tetapi seorang penjudi dapat menghabiskan seluruh barang miliknya (termasuk tanah yang tak dapat dicuri dan terbakar) dalam waktu singkat.

18. Mau maéga pabbiséna nabonngo ponglopinna téa wa’ nalureng.
Artinya: “biar banyak pendayungnya, tetapi bodoh juru mudinya”. Kebahagiaan rumah tangga ditentukan oleh banyak hal, tetapi yang paling menentukan adalah kecakapan dan rasa tanggung jawab kepala rumah tangga itu sendiri.

19. Naiya riyasenngé pannawanawa, mapaccingi riatinna, sappai rinawanawanna, nalolongenngi sininna adaé enrenngé gau’ é napoléié ja’ enrenngé napoléié décéng.

Artinya: “cendekiawan (pannawanawa) ialah orang yang ikhlas, yang pikirannya selalu mencari-cari sampai dia menemukan pemecahan persoalan yang dihadapi, demikian pula perbuatan yang menjadi sumber bencana dan sumber kebajikan”.

20. Naiya tau malempuk-é manguruk manak-i tau sugi-é.

Artinya: “orang yang jujur sewarisan dengan orang kaya”. Orang jujur tidaklah sulit memperoleh kepercayaan dari orang kaya karena kejujurannya.

21. Naiya accae ripatoppoki jékko, aggati aliri, narékko téyai maredduk, mapoloi.
Artinya: “kepandaian yang disertai kecurangan ibarat tiang rumah, kalau tidak tercerabut, ia akan patah”. Di Bugis, tiang rumah dihubungkan satu dengan yang lain menggunakn pasak. Jika pasak itu bengkok sulit masuk ke dalam lubang tiang, dan patah kalau dipaksakan. Kias terhadap orang pandai tetapi tidak jujur. Ilmunya tak akan mendatangkan kebaikan (berkah), bahkan dapat membawa bencana (malapetaka).

22. Narékko maélokko tikkeng séuwa olokolok sappak-i batélana. Narékko sappakko dallék sappak-i maégana batéla tau .
Artinya: “kalau ingin menangkap seekor binatang, carilah jejaknya. Kalau mau mencari rezeki, carilah di mana banyak jejak manusia”. Pada hakikatnya, manusialah yang menjadi pengantar rezeki, sehingga di mana banyak manusia akan ditemui banyak rezeki.

23. Narékko téyako risarompéngi lipak, aja mutudang ri wiring laleng.
Artinya: “kalau kamu tak sudi terserempet sarung, jangan duduk di tepi jalan”. Duduk di tepi jalan dianggap perbuatan yang tak wajar, karena banyak orang berlalu-lalang. Mengandung nasihat agar menjauhi segala sesuatu yang berbahaya supaya selamat.


24. Narékko maélokko madécéng ri jama-jamammu, attanngakko ri batélak-é. Ajak muolai batélak sigaru-garué, tutunngi batélak makessinngé tumpukna.
Artinya: “kalau mau berhasil dalam usaha atau pekerjaanmu, amatilah jejak-jejak. Jangan mengikuti jejak yang simpang siur, tetapi ikutlah jejak yang baik urutannya” Jejak yang simpang siur adalah jejak orang yang tentu arah tujuan. Jejak yang baik urutannya adalah jejak orang yang berhasil dalam kehidupan. Sukses tidak dapat diraih dengan semangat saja, melainkan harus dibarengi adanya tujuan yang pasti dan jalan yang benar.

25. Olakku kuassukeki, olakmu muassukeki
Artinya: “takaranku kujadikan ukuran, takaranmu kamu jadikan ukuran”. Setiap orang mempunyai prinsip atau landasan berpikir sendiri-sendiri dalam memandang sesuatu. Oleh karena itu harus ada saling pengertian atau tenggang rasa supaya tak terjadi pertikaian.

26. Paddioloiwi niak madécéng ri temmakdupana iyamanenna.
Artinya: “Dahuluilah dengan niat baik sebelum melaksanakan pekerjaan”. Dengan adanya niat baik yang bersangkutan akan tertuntun ke jalan yang benar. Berniat baik saja sudah merupakan kebaikan, apalagi kalau dilaksanakan.

27. Pauno sirié, mappalétté ri pammasareng essé babuaé.
Artinya: “malu mengakibatkan maut, iba hati mengantar ke liang”. Rasa malu yang tak terkendali dapat mengundang malapateka (mengundang maut). Perasaan iba yang berlebihan juga dapat membawa kesengsaraan dan mencelakakan (menyebabkan kematian).

28. Pala uragaé, tebakké tongenngé teccau maégaé, tessiéwa situlaé.
Artinya: “berhasil tipu daya, tak akan musnah kebenaran, tak akan kalah yang banyak, tak akan berlawanan yang berpantangan”. Tipu daya mungkin berhasil untuk sementara, tetapi kebenaran tidak termusnahkan. Kebenaran akan tetap hidup bersinar terus dalam kalbu manusia karena ia datang dari sumber yang hakiki, yaitu Tuhan YME.

29. Pura babbara’ sompekku, pura tangkisi’ golikku, ulebbirenni tellenngé nato’walié.
Artinya: “layarku sudah terkembang, kemudiku sudah terpasang, lebih baik tenggelam daripada kembali”. Semangat yang mengandung makna kehati-hatian dan didasarkan atas acca, yang berarti mendahulukan pertimbangan yang waras dan matang. Pelaut Bugis tak akan berlayar sebelum tiang dan guling serta tali-temali diperiksa cermat dan teliti. Di samping juga memperhatikan waktu dan musim yang tepat untuk berlayar. Setelah segala sesuatunya meyakinkan, barulah berlayar atas dasar kata putus seperti di atas.

30. Rebba sipatokkong, mali siparappé, sirui ménré tessirui nok, malilu sipakainge, maingeppi mupaja.
Artinya: “rebah saling menegakkan, hanyut saling mendamparkan, saling menarik ke atas dan tidak saling menekan ke bawah, terlupa saling mengingatkan, nanti sadar atau tertolong barulah berhenti”. Mengandung pesan agar orang selalu berpijak dengan teguh dan berdiri kokoh dalam mengarungi kehidupan. Juga harus tolong-menolong ketika menghadapi rintangan, dan saling mengingatkan untuk menuju ke jalan yang benar. Jika semua itu dilaksanakan akan terwujud masyarakat yang aman dan sejahtera. (suryadin)




Demikianlah Artikel Sastra Klasik Bugis

Sekianlah artikel Sastra Klasik Bugis kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Sastra Klasik Bugis dengan alamat link https://3kreasi.blogspot.com/2016/01/sastra-klasik-bugis.html

0 Response to "Sastra Klasik Bugis"

Post a Comment